PULANG! Jangan Pernah Kemaleman Di Jalan.

Di Kandang Badak tenda yang tersisa cuma tenda kita dan ga ada satu orang pun di sana. Jempling. Terus tadi yang ketawa itu siapa? Waktunya pulang menanti, rencana kita sih ga mau kemaleman di jalan. Sebelum pulang pastinya harus makan dan beberes dulu. Beres makan dan packing sekitar setengah empat. Kebetulan para cewe udah beres packing duluan, sambil ngaso saya rajin mengingatkan jam, hari semakin sore. Akhirnya jam empat lebih kita berdoa bersama, semoga kita sampai di Cibodas dan sampai rumah dengan selamat, sehat, dan ga ada kurang satu apapun, bismillah kembali menggendong carrier.

Waktu untuk jalan pulang rata-rata setengahnya dari jalan naik. Intinya lebih cepet, mungkin sampai Cibodas dalam tiga jam tapi itu akhirnya kita bakal magrib di jalan dan Ayogi udah wanti-wanti kalau magrib kita harus berenti dulu. Sekitar seratus meter dari Kandang Badak, Mamet riweuh sama trash bag yang dibawanya, maklum Mamet bawa kulkas ditambah sampah, harus dibenerin dulu biar jalannya enak. Kita terbagi dua, saya, Ayogi, Santi, dan Vani jalan duluan, sementara Mamet, Rezy, dan Yogi jalan belakangan karena beberes trash bag dulu. Kenapa bawa trash bag? Jangan meninggalkan sampah di gunung.

Hari itu cuma tim kita aja yang turun, sepi, yang naik cuma satu rombongan itupun bertemu saat masih dekat Kandang Badak. Serem juga jalan berempat, Ayogi di depan salah, di belakang salah karena kita semua yang cewe ga ada yang mau jalan di belakang ataupun di depan.
"Harusnya tadi ada satu cowo lagi yang bareng kita."
"Yaudah, Yogi di belakang? Kalian di depan?"
"Gamau, A"
"Yaudah Yogi di depan."
"Gamau juga, A."
Serba salah. Akhirnya Ayogi di depan bareng Santi, saya dan Vani di belakang mereka. Dari kejauhan sudah terlihat Kandang Batu saya teringat omongan Bang Roy,
"Ayogi, gausah istirahat di sini, ya (Kandang Batu)."
"Iya jangan istirahat di sini, eh, eh, gimana kemarin cerita pacarnya, cerita-cerita lagi dong." Saya tahu Ayogi mengalihkan pembicaraan dan sebenarnya bertanya tentang pacar siapa? Punya juga engga.

Sebelum Cipanas kita liat ada orang yang ngecamp, beranian amat, lebih baik ngecamp di tempat yang sudah disarankan, seperti Kandang Badak. Sampailah kita di Cipanas, bingung juga harus satu-satu disebrangin Ayogi atau barengan aja. Seperti yang saya pernah bilang sebelumnya, jalan lewat Cipanas itu harus hati-hati, kalau engga mah dadah pasti kepeleset ke jurang. Jadi mau ga mau Ayogi bantuin satu-satu buat nyebrang Vani di depan, Santi, lalu saya. Belum lagi saya ribet ga keliatan jalan karena kacamata berembun. Kalau udah lewatin jalan ini berasa achievement completed! Haha. Kita istirahat sebentar untuk minum dan mulai kedengeran suaranya Rezy. Yaudalah sekalian bareng.

Seneng rasanya jalan bertujuh lagi ga kepisah-pisah. Pikiran saya cuma satu, pengen cepet sampai di Cibodas. Sudah sekitar jam 5 lebih. Jalan masih jauh daritadi juga udah rintik-rintik hujan. Yang serba salah kalau hujan adalah ga pake jaket/jas hujan udah pasti kehujanan tapi kalau dipake juga gerah. Kalau lagi jalan, bawa carrier, boro-boro dingin, panas dan keringetan yang ada. Jalannya masih satu-satu, Mamet dan Ayogi di depan, cewe di tengah sisanya Rezy dan Yogi di belakang. Sempat terpisah agak jauh, kalau udah gini saya suka takut kesasar. Amit-amit.

Magrib, istirahat. Buang air dulu, minum dulu, tarik napas dulu, berdoa dulu. Kata Ayogi ini belum setengahnya jalan. Setelah lumayan lama istriahat, jalan lagi, selamat deg-degan. Kalau kata orang perjalanan yang sebenarnya baru dimulai. Seperti biasa kalau sudah gelap saya ga berani tengok kanan kiri, fokus pegangin headlamp (headlampnya ga saya pake di kepala haha), liat ke bawah liat jalan. Saya ada di belakang Santi, saya dan Santi berusaha menyibukkan diri untuk mengobrol, segala ditanya padahal saya tahu yang saya tanya itu sudah saya tanya beberapa kali. Kalau sudah tidak ada pertanyaan masing-masing diam, "Res ih, ngobrol lagi."
Di perjalanan pulang kita tidak terlalu banyak istirahat, saya sangat senang ketika disuruh untuk jalan berdua-berdua, maklum emang sieunan. Mamet sendiri di depan, Ayogi dan Santi, saya dan Vani, Rezy dan Yogi. Alhamdulillah. Ketika saya bertanya apakah jalan masih jauh, anehnya Mamet tidak pernah menjawab ya atau tidak, hanya Mamet yang bilang "Gatau."

Di sepanjang jalan pikiran saya campur aduk, saya berpikir takut kesasar, apakah jalannya benar atau tidak, dan pikiran yang paling aneh adalah, "Bener ga ya yang jalan bersama saya ini semuanya teman-teman saya yang sebenarnya. Atau mereka itu bukan teman saya yang asli?"
Cibodas sudah dekat ketika kita sampai di pos Panyangcangan. Di sini hawanya sudah beda, aneh. Saya tidak berani menengok kanan kiri pokoknya. Setelah Panyangcangan adalah Rawa Gayonggong. Kami jalan di atas rawa, berisik dengan suara air, belum lagi sepanjang jalan tadi suara burung dan serangga.. Perasaan saya sih Rawa ini tidak panjang tapi kenapa ga habis-habis. Sepanjang rawa ini saya mulai mengobrol dengan vani, segala diobrolin, sampai saya bertanya tentang bagaimana perkenalan mamahnya dan papahnya, kenapa sampai bisa nikah. Setelah rawa jalanan mulai batuan lagi, saya bilang kepada Vani, 
"Van, jalannya gandengan aja."
"Gamau ah, Res, nanti kepeleset lebih bahaya kalau gandengan."

Rawa Gayonggong lalu Telaga Biru, Ayogi dan Santi di depan memberitahu,
"Jalannya liat ke bawah, ya." Lalu kami memberitahukan kepada Yogi dan Rezy.
Setelah tadi Vani yang tidak mau bergandengan, tiba-tiba dia menggandeng tangan saya. Hmmm.
Saya belum tahu ceritanya kenapa harus liat ke bawah, kemarin Ayogi hanya bilang,
"Kata orang-orang Cibodas mah heran sama pendaki, pada beranian lewat Telaga Biru malem-malem, kalau mereka mah lewat situ malem-malem udah lari aja. Kita tar kalau lewat situ jangan nenggak ke atas, ya. Kita ngobrol aja."
Saya ga sempet nanya kenapa juga. Begitu melewati Telaga Biru, yang tadi saya kepanasan karena keringetan, hawanya mulai dingin banget, tapi dinginnya aneh, ga kaya dingin di puncak atau di Kandang Badak. Banyak suara serangga, entah suara serangga apa yang pasti terkadang suara serangganya mirip suara perempuan tertawa, "Kikikikiiiiiiiiiiiiiiikkkkkkkkkkkkkkkkkkk"
Selain suara serangga, terdengar juga suara air, suara burung. Jalan batuan semua, telapak kaki sudah terasa sangat sakit, dengkul mau copot tuh rasanya beneran. Saya berusaha terus mengajak ngobrol Vani jangan sampai masing-masing diam. Seingat saya, dari Telaga Biru ke Cibodas itu dekat. Tapi tidak sampai juga, saya sudah terpeleset mungkin ke empat kalinya, belum sampai juga. Namanya juga kepeleset pasti sakit, tapi udah ga dirasa sama sekali, cuma pengen cepet nyampe Cibodas liat kehidupan normal. Samar terdengar suara orang memberi pengumuman. Entah pengumuman apa. Saya pikir itu sudah dekat, tapi masih saja belum sampai juga. Saya hanya bisa membaca doa-doa yang saya bisa, beristighfar, meminta ingin cepat sampai dengan selamat. 

Alhamdulillah, sekitar setengah delapan lebih kita sampai di pos Cibodas. Alhamdulillah. Saya sempat berpikir bagaimana kalau tiba-tiba saya ada di Kandang Badak lagi hahaha. Amit-amit. Alhamdulillah ya Allah. Setelah melapor kepada pos di Cibodas kami segera cepat turun, pengen jajan, pengen minum, pengen liat keramaian. Kangen Bandung! Begitu turun ada kembang api yang menyambut kami cuma satu tapi cukup besar sih. Saya pikir itu Ayogi yang menyalakan karena dia sampai di bawah duluan. Tapi ternyata bukan, entahlah yang pasti terimakasih atas kembang apinya. Indah dan bikin kaget. Nuhun.

Untuk pulang, kita memutuskan untuk menuju Cipanas lalu Cianjur, lalu naik bis menuju Bandung. Di Cipanas kita beristirahat untuk makan nasi goreng. Mulai lah semua cerita apa yang dirasain selama perjalanan pulang dan segala macam hal aneh.

"Aku mah tadi berasa diikutin pasukan bebek dan ayam, banyak banget, aku nanya Ayogi, kita diikutin ya, A. Kata Ayogi, iya, kaya ngikutin di atas kita." - Santy

"Aku mah sepanjang jalan babacaan dan megang kenceng bgt ke Ayogi, terus nanya-nanya Ayogi rumahnya di mana, aku takut kalau Ayogi bukan Ayogi yang beneran, takut juga kalian ternyata bukan temen aku." Ternyata bukan saya saja yang ngerasa gitu, Santi juga ngerasa yang sama. Begity juga Vani, Rezy, dan Yogi. Kita semua takut kalau kita semua bukan kita yang sebenarnya hahaha.

Selain itu Santi merasa ada yang menarik tasnya dan spontan teriak,
"Resna!!!",
"Kenapa, San?"
"Ga apa-apa Ayogi, latah." Santi mengira yang menarik tasnya adalah saya, tapi ketika Ayogi bertanya kenapa, Santi baru tersadar bahwa yang menarik tasnya tidak mungkin saya, karena jarak saya dan Santi cukup jauh.

Saya juga bertanya kepada Ayogi, kenapa Ayogi seperti mengalihkan pembicaraan ketika akan melewati Kandang Batu. Kalau saya sih memanvgtahu dari Bang Roy, dia bilang jangan ngecamp di sana karena di sana dulunya tempat penyimpanan mayat. Kalau alasan Ayogi karena di situ menurut orang adalah pintu masuk antara dunia kita dan dunia "lain."

Lain lagi dengan Rezy, ketika jalan sendiri di paling belakang, dia merasa ada yang mengikutinya dari belakang, tapi berpikir positif saja bahwa itu suara kaki kami yang jalan terlebih dahulu. Suara serangga juga kadang mirip orang yang ketawa ya, Ji?

Vani, Saya, Rezy, dan Yogi sepakat bahwa dari Panyangcangan sampai Cibodas terasa jauh sekali. Apalagi di Rawa Gayonggyong, rawanya seperti bertambah panjang.

Saya juga cepat-cepat bbm sepupu saya yang langganan naik gunung, bertanya,
"Jorji, tadi lewat Telaga Biru kenapa ya ga boleh nenggak ke atas?" 
"Oh, itu mah sarang kunti." 
Kemudian merinding.

Ga boleh nenggak ke atas atau lebih baik liat ke bawah aja karena apa, antisipasi atau jaga-jaga jangan sampai pas apes liat yang aneh-aneh terus panik, kalau udah panik pasti lari dan khawatir rombongan jadi mencar. Logis? Logis lah ya.

Santy dan Vani juga merasa takut dengan keberadaan saya karena menurut mereka, saya seperti bukan saya yang sebenarnya dan tidak seperti biasanya, karena sepanjang jalan saya menunduk terus, hahahaha. Eta teh saking sieunnya, Van, San.
"Aku mah sepanjang jalan takut siah, Res, sama kamu."
"Hahaha, kenapa emang, San?"
"Ya abis kamu nunduk mulu ih serem."
"Emang Vani ga takut gitu jalan bareng si Resna, sama kali, dia nunduk mulu sepanjang jalan, diajak ngobrol aja nunduk."

Lalu ketika turun dari Pangrango kami semua mendengar suara orang banyak yang tertawa terbahak-bahak namun ternyata tidak ada satu orangpun di Kandang Badak. Ternyata semua merasa deg dan berpikiran yang sama, itu tadi siapa. Hanya saja semuanya baru dibahas ketika sampai di bawah. Saya mendengar suara tertawa itu dua kali, pertama semua suara laki-laki dan kedua suara para perempuan. Hanya saya yang dua kali mendengar suara tertawa, Vani hanya sekali dan hanya Rezy yang tidak mendengar orang-orang tertawa. Menurut saya ini aneh.

Mungkin semua itu hanya halusinasi dan sugesti dari dalam diri masing-masing. Kelelahan dan ingin cepat sampai yang membuat kami, mungkin terutama saya, membayangkan hal yang aneh-aneh, misalnya mendengar suara dan merasakan perubahan suhu yang aneh. Banyak-banyak berdoa saja dan fokus. Hehe

Tapi, dengan segala misteri dan cerita tentang Gunung Gede dan Pangrango, terima kasih ya Allah karena kami semua bisa sampai di Puncak Gede dan Puncak Pangrango, double summit!! Dan sampai kembali di rumah tanpa kurang satu apapun. Alhamulillah. Kawan, benar kata orang, mendaki gunung mendekatkan kalian kepada Allah. Maka selama kalian masih kuat, cobalah mendaki gunung. Tapi, jangan kemaleman di jalan pulang. Serem. Assalamu'alaikum.

Share:

2 comments

  1. Rame euy.. jadi ikut deg degan baca crita d khost'an sendirian

    BalasHapus
  2. Rame euy.. jadi ikut deg degan baca crita d khost'an sendirian

    BalasHapus