resnanadia

Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu

Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan

Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“Hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”

Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Djakarta 19-7-1966
Soe Hok Gie


Soe Hok Gie, semoga semangat dan idealismemu tetap menular dan menyala, Amien.
16 Desember 2013, 44tahun wafat Soe Hok Gie.
Beberapa hari sebelum naik Gede Pangrango, saya dan Reji nyempetin jogging sesering mungkin. Yang terakhir yang paling saya ingat, waktu itu pukul lima sore saya dan Rezy baru sampai di Sabuga untuk memulai lari sore kami. Sudah sangat sore sekali ya. Kami lari sekitar satu jam, satu jam buat saya paling hanya dapat beberapa keliling itupun ditambah jalan kaki. Semakin sore suasananya semakin menyenangkan, semakin sepi, langit semakin bagus, menurut saya suananya romantis! Jika tidak percaya, cobalah lari sore di Sabuga di hari yang cerah. Saya kasih liat  pemandangan sore hari di Sabuga, ya.


Taken by me :)

Dannn, mulai saat itu entah bagaimana, saya merasa senang untuk menyempatkan berlari lagi dan sedikit terobsesi dengan lari. Entah ada apa juga, my parent bought me some lovely running stuff . Kebetulan juga sempat mengobrol sedikit tentang lari dengan ayah saya,
“Lari tuh asik, Teh. Tantangan dari lari tuh gimana kita bisa naklukin diri kita sendiri. Kita bisa ga sampai target. Cobain sering lari, sekali-kali ikut maraton.”
Waw! Ga salah, Pa? Nyuruh maraton. Mungkin tidak serius tapi entahlah kata-kata itu cukup menyihir untuk memulai lari lagi dan membayangkan suasana Sabuga sore hari. Let's hit Sabuga jogging track, you're gonna have a lovely afternoon.

Di Kandang Badak tenda yang tersisa cuma tenda kita dan ga ada satu orang pun di sana. Jempling. Terus tadi yang ketawa itu siapa? Waktunya pulang menanti, rencana kita sih ga mau kemaleman di jalan. Sebelum pulang pastinya harus makan dan beberes dulu. Beres makan dan packing sekitar setengah empat. Kebetulan para cewe udah beres packing duluan, sambil ngaso saya rajin mengingatkan jam, hari semakin sore. Akhirnya jam empat lebih kita berdoa bersama, semoga kita sampai di Cibodas dan sampai rumah dengan selamat, sehat, dan ga ada kurang satu apapun, bismillah kembali menggendong carrier.

Waktu untuk jalan pulang rata-rata setengahnya dari jalan naik. Intinya lebih cepet, mungkin sampai Cibodas dalam tiga jam tapi itu akhirnya kita bakal magrib di jalan dan Ayogi udah wanti-wanti kalau magrib kita harus berenti dulu. Sekitar seratus meter dari Kandang Badak, Mamet riweuh sama trash bag yang dibawanya, maklum Mamet bawa kulkas ditambah sampah, harus dibenerin dulu biar jalannya enak. Kita terbagi dua, saya, Ayogi, Santi, dan Vani jalan duluan, sementara Mamet, Rezy, dan Yogi jalan belakangan karena beberes trash bag dulu. Kenapa bawa trash bag? Jangan meninggalkan sampah di gunung.

Hari itu cuma tim kita aja yang turun, sepi, yang naik cuma satu rombongan itupun bertemu saat masih dekat Kandang Badak. Serem juga jalan berempat, Ayogi di depan salah, di belakang salah karena kita semua yang cewe ga ada yang mau jalan di belakang ataupun di depan.
"Harusnya tadi ada satu cowo lagi yang bareng kita."
"Yaudah, Yogi di belakang? Kalian di depan?"
"Gamau, A"
"Yaudah Yogi di depan."
"Gamau juga, A."
Serba salah. Akhirnya Ayogi di depan bareng Santi, saya dan Vani di belakang mereka. Dari kejauhan sudah terlihat Kandang Batu saya teringat omongan Bang Roy,
"Ayogi, gausah istirahat di sini, ya (Kandang Batu)."
"Iya jangan istirahat di sini, eh, eh, gimana kemarin cerita pacarnya, cerita-cerita lagi dong." Saya tahu Ayogi mengalihkan pembicaraan dan sebenarnya bertanya tentang pacar siapa? Punya juga engga.

Sebelum Cipanas kita liat ada orang yang ngecamp, beranian amat, lebih baik ngecamp di tempat yang sudah disarankan, seperti Kandang Badak. Sampailah kita di Cipanas, bingung juga harus satu-satu disebrangin Ayogi atau barengan aja. Seperti yang saya pernah bilang sebelumnya, jalan lewat Cipanas itu harus hati-hati, kalau engga mah dadah pasti kepeleset ke jurang. Jadi mau ga mau Ayogi bantuin satu-satu buat nyebrang Vani di depan, Santi, lalu saya. Belum lagi saya ribet ga keliatan jalan karena kacamata berembun. Kalau udah lewatin jalan ini berasa achievement completed! Haha. Kita istirahat sebentar untuk minum dan mulai kedengeran suaranya Rezy. Yaudalah sekalian bareng.

Seneng rasanya jalan bertujuh lagi ga kepisah-pisah. Pikiran saya cuma satu, pengen cepet sampai di Cibodas. Sudah sekitar jam 5 lebih. Jalan masih jauh daritadi juga udah rintik-rintik hujan. Yang serba salah kalau hujan adalah ga pake jaket/jas hujan udah pasti kehujanan tapi kalau dipake juga gerah. Kalau lagi jalan, bawa carrier, boro-boro dingin, panas dan keringetan yang ada. Jalannya masih satu-satu, Mamet dan Ayogi di depan, cewe di tengah sisanya Rezy dan Yogi di belakang. Sempat terpisah agak jauh, kalau udah gini saya suka takut kesasar. Amit-amit.

Magrib, istirahat. Buang air dulu, minum dulu, tarik napas dulu, berdoa dulu. Kata Ayogi ini belum setengahnya jalan. Setelah lumayan lama istriahat, jalan lagi, selamat deg-degan. Kalau kata orang perjalanan yang sebenarnya baru dimulai. Seperti biasa kalau sudah gelap saya ga berani tengok kanan kiri, fokus pegangin headlamp (headlampnya ga saya pake di kepala haha), liat ke bawah liat jalan. Saya ada di belakang Santi, saya dan Santi berusaha menyibukkan diri untuk mengobrol, segala ditanya padahal saya tahu yang saya tanya itu sudah saya tanya beberapa kali. Kalau sudah tidak ada pertanyaan masing-masing diam, "Res ih, ngobrol lagi."
Di perjalanan pulang kita tidak terlalu banyak istirahat, saya sangat senang ketika disuruh untuk jalan berdua-berdua, maklum emang sieunan. Mamet sendiri di depan, Ayogi dan Santi, saya dan Vani, Rezy dan Yogi. Alhamdulillah. Ketika saya bertanya apakah jalan masih jauh, anehnya Mamet tidak pernah menjawab ya atau tidak, hanya Mamet yang bilang "Gatau."

Di sepanjang jalan pikiran saya campur aduk, saya berpikir takut kesasar, apakah jalannya benar atau tidak, dan pikiran yang paling aneh adalah, "Bener ga ya yang jalan bersama saya ini semuanya teman-teman saya yang sebenarnya. Atau mereka itu bukan teman saya yang asli?"
Cibodas sudah dekat ketika kita sampai di pos Panyangcangan. Di sini hawanya sudah beda, aneh. Saya tidak berani menengok kanan kiri pokoknya. Setelah Panyangcangan adalah Rawa Gayonggong. Kami jalan di atas rawa, berisik dengan suara air, belum lagi sepanjang jalan tadi suara burung dan serangga.. Perasaan saya sih Rawa ini tidak panjang tapi kenapa ga habis-habis. Sepanjang rawa ini saya mulai mengobrol dengan vani, segala diobrolin, sampai saya bertanya tentang bagaimana perkenalan mamahnya dan papahnya, kenapa sampai bisa nikah. Setelah rawa jalanan mulai batuan lagi, saya bilang kepada Vani, 
"Van, jalannya gandengan aja."
"Gamau ah, Res, nanti kepeleset lebih bahaya kalau gandengan."

Rawa Gayonggong lalu Telaga Biru, Ayogi dan Santi di depan memberitahu,
"Jalannya liat ke bawah, ya." Lalu kami memberitahukan kepada Yogi dan Rezy.
Setelah tadi Vani yang tidak mau bergandengan, tiba-tiba dia menggandeng tangan saya. Hmmm.
Saya belum tahu ceritanya kenapa harus liat ke bawah, kemarin Ayogi hanya bilang,
"Kata orang-orang Cibodas mah heran sama pendaki, pada beranian lewat Telaga Biru malem-malem, kalau mereka mah lewat situ malem-malem udah lari aja. Kita tar kalau lewat situ jangan nenggak ke atas, ya. Kita ngobrol aja."
Saya ga sempet nanya kenapa juga. Begitu melewati Telaga Biru, yang tadi saya kepanasan karena keringetan, hawanya mulai dingin banget, tapi dinginnya aneh, ga kaya dingin di puncak atau di Kandang Badak. Banyak suara serangga, entah suara serangga apa yang pasti terkadang suara serangganya mirip suara perempuan tertawa, "Kikikikiiiiiiiiiiiiiiikkkkkkkkkkkkkkkkkkk"
Selain suara serangga, terdengar juga suara air, suara burung. Jalan batuan semua, telapak kaki sudah terasa sangat sakit, dengkul mau copot tuh rasanya beneran. Saya berusaha terus mengajak ngobrol Vani jangan sampai masing-masing diam. Seingat saya, dari Telaga Biru ke Cibodas itu dekat. Tapi tidak sampai juga, saya sudah terpeleset mungkin ke empat kalinya, belum sampai juga. Namanya juga kepeleset pasti sakit, tapi udah ga dirasa sama sekali, cuma pengen cepet nyampe Cibodas liat kehidupan normal. Samar terdengar suara orang memberi pengumuman. Entah pengumuman apa. Saya pikir itu sudah dekat, tapi masih saja belum sampai juga. Saya hanya bisa membaca doa-doa yang saya bisa, beristighfar, meminta ingin cepat sampai dengan selamat. 

Alhamdulillah, sekitar setengah delapan lebih kita sampai di pos Cibodas. Alhamdulillah. Saya sempat berpikir bagaimana kalau tiba-tiba saya ada di Kandang Badak lagi hahaha. Amit-amit. Alhamdulillah ya Allah. Setelah melapor kepada pos di Cibodas kami segera cepat turun, pengen jajan, pengen minum, pengen liat keramaian. Kangen Bandung! Begitu turun ada kembang api yang menyambut kami cuma satu tapi cukup besar sih. Saya pikir itu Ayogi yang menyalakan karena dia sampai di bawah duluan. Tapi ternyata bukan, entahlah yang pasti terimakasih atas kembang apinya. Indah dan bikin kaget. Nuhun.

Untuk pulang, kita memutuskan untuk menuju Cipanas lalu Cianjur, lalu naik bis menuju Bandung. Di Cipanas kita beristirahat untuk makan nasi goreng. Mulai lah semua cerita apa yang dirasain selama perjalanan pulang dan segala macam hal aneh.

"Aku mah tadi berasa diikutin pasukan bebek dan ayam, banyak banget, aku nanya Ayogi, kita diikutin ya, A. Kata Ayogi, iya, kaya ngikutin di atas kita." - Santy

"Aku mah sepanjang jalan babacaan dan megang kenceng bgt ke Ayogi, terus nanya-nanya Ayogi rumahnya di mana, aku takut kalau Ayogi bukan Ayogi yang beneran, takut juga kalian ternyata bukan temen aku." Ternyata bukan saya saja yang ngerasa gitu, Santi juga ngerasa yang sama. Begity juga Vani, Rezy, dan Yogi. Kita semua takut kalau kita semua bukan kita yang sebenarnya hahaha.

Selain itu Santi merasa ada yang menarik tasnya dan spontan teriak,
"Resna!!!",
"Kenapa, San?"
"Ga apa-apa Ayogi, latah." Santi mengira yang menarik tasnya adalah saya, tapi ketika Ayogi bertanya kenapa, Santi baru tersadar bahwa yang menarik tasnya tidak mungkin saya, karena jarak saya dan Santi cukup jauh.

Saya juga bertanya kepada Ayogi, kenapa Ayogi seperti mengalihkan pembicaraan ketika akan melewati Kandang Batu. Kalau saya sih memanvgtahu dari Bang Roy, dia bilang jangan ngecamp di sana karena di sana dulunya tempat penyimpanan mayat. Kalau alasan Ayogi karena di situ menurut orang adalah pintu masuk antara dunia kita dan dunia "lain."

Lain lagi dengan Rezy, ketika jalan sendiri di paling belakang, dia merasa ada yang mengikutinya dari belakang, tapi berpikir positif saja bahwa itu suara kaki kami yang jalan terlebih dahulu. Suara serangga juga kadang mirip orang yang ketawa ya, Ji?

Vani, Saya, Rezy, dan Yogi sepakat bahwa dari Panyangcangan sampai Cibodas terasa jauh sekali. Apalagi di Rawa Gayonggyong, rawanya seperti bertambah panjang.

Saya juga cepat-cepat bbm sepupu saya yang langganan naik gunung, bertanya,
"Jorji, tadi lewat Telaga Biru kenapa ya ga boleh nenggak ke atas?" 
"Oh, itu mah sarang kunti." 
Kemudian merinding.

Ga boleh nenggak ke atas atau lebih baik liat ke bawah aja karena apa, antisipasi atau jaga-jaga jangan sampai pas apes liat yang aneh-aneh terus panik, kalau udah panik pasti lari dan khawatir rombongan jadi mencar. Logis? Logis lah ya.

Santy dan Vani juga merasa takut dengan keberadaan saya karena menurut mereka, saya seperti bukan saya yang sebenarnya dan tidak seperti biasanya, karena sepanjang jalan saya menunduk terus, hahahaha. Eta teh saking sieunnya, Van, San.
"Aku mah sepanjang jalan takut siah, Res, sama kamu."
"Hahaha, kenapa emang, San?"
"Ya abis kamu nunduk mulu ih serem."
"Emang Vani ga takut gitu jalan bareng si Resna, sama kali, dia nunduk mulu sepanjang jalan, diajak ngobrol aja nunduk."

Lalu ketika turun dari Pangrango kami semua mendengar suara orang banyak yang tertawa terbahak-bahak namun ternyata tidak ada satu orangpun di Kandang Badak. Ternyata semua merasa deg dan berpikiran yang sama, itu tadi siapa. Hanya saja semuanya baru dibahas ketika sampai di bawah. Saya mendengar suara tertawa itu dua kali, pertama semua suara laki-laki dan kedua suara para perempuan. Hanya saya yang dua kali mendengar suara tertawa, Vani hanya sekali dan hanya Rezy yang tidak mendengar orang-orang tertawa. Menurut saya ini aneh.

Mungkin semua itu hanya halusinasi dan sugesti dari dalam diri masing-masing. Kelelahan dan ingin cepat sampai yang membuat kami, mungkin terutama saya, membayangkan hal yang aneh-aneh, misalnya mendengar suara dan merasakan perubahan suhu yang aneh. Banyak-banyak berdoa saja dan fokus. Hehe

Tapi, dengan segala misteri dan cerita tentang Gunung Gede dan Pangrango, terima kasih ya Allah karena kami semua bisa sampai di Puncak Gede dan Puncak Pangrango, double summit!! Dan sampai kembali di rumah tanpa kurang satu apapun. Alhamulillah. Kawan, benar kata orang, mendaki gunung mendekatkan kalian kepada Allah. Maka selama kalian masih kuat, cobalah mendaki gunung. Tapi, jangan kemaleman di jalan pulang. Serem. Assalamu'alaikum.
Sampe lagi di Kandang Badak, sayang tetangga sebelah si Geng Jakarta udah siap-siap mau pulang, nanti malem bakal ga ada tetangga dan tukang teh gratis hahaha. Di Gunung kerjaan selain tidur apalagi kalau bukan makan, pulang dari Puncak Gede makan lagi. Masak-masak! Koki di gunung tuh ada tiga, Santi, Mamet, dan Ayogi, kalau Vani dan Yogi tim cuci piring, kalau saya dan Rezy tim pengacau aja. Saya sempet mikir, di gunung bakal kekurangan makanan ga ya, tapi kenyataannya malah banyak dan kelebihan makanan, belum lagi dapet sumbangan dari Geng Jakarta dan setiap orang yang mau pulang pasti nyumbangin makanannya, sumbangan paling berharga adalah dari Bang Roy, teh TongJi. 

Makan, makan, dan makan. Kerjaan di gunung gitu aja kalau lagi ga menuju puncak, kayanya turun ke Cibodas langsung naik beberapa kilo. Hari ini malah ada bubur kacang ijo, walaupun sedikit gagal karena ga empuk-empuk, ya namanya juga di gunung. Semua hal bisa ditoleransi, namanya juga di gunung hahaha. Selain makan ya ngobrol, dengerin Yogi ngelawak, atau wawancara Ayogi. Tapi hari ini kata anak-anak, semenjak turun dari Puncak Gede saya yang lebih banyak ngomong, cengos, dan kaya lagi ulang tahun.

"Si Resna tadi pas naek aja diem mulu, pas turun aja bat bet bat bet, mana banyak omong." - Rezy
"Res, maneh asa loba omong kitu euy? Asa keur diulangtahunkeun." - Mamet
"Res, maneh asa teu loba omong kitu biasana mah." - Mamet
"Haduhhh, Resna tuh ya trouble maker." - Vani

Karena Yogi tidur dan yang lain diem aja jadi mungkin saya yang lebih banyak ngomong kali ya, gatau sih saya ngerasanya seneng aja di gunung, sampe puncak, tanpa gadget, damai. Topik malam ini masih seputar besok pulang, cerita tentang Pangrango dan Madalawangi, antara ke Pangrango atau pulang. Kalau ke Pangrango kita harus berangkat sekitar jam 3subuh. Saya, Santi, dan Yogi tidak mau memaksakan kalau memang tidak kuat menuju Puncak Pangrango. Tapi, ditengah topik malam itu, tiba-tiba Yogi bangun dari tidurnya dan bilang,

"Hayu ah ka Pangrango."

Ini nih si Yogi paling ga baleg, padahal dia yang ngajakin pengen cepet pulang dan dia bilang ga akan ikut kalau naik ke Pangrango. Sisanya, tinggal saya dan Santi yang masih ragu. Kalau saya pribadi sih bukan soal capenya, tapi soal takutnya hahaha. Apalagi sepupu saya bilang,
"Hati-hati kalau ke Pangrango, jalannya bercabang."
Tapi ga ada pilihan lain saya dan Santi ga mungkin tinggal di tenda berdua, judulnya pasti moal baleg. Belum lagi pasti sirik liat orang foto-foto di Mandalawangi. Kata Yogi sih sekalian cape, kalau kata Ayogi Mandalawangi itu tempat paling romantis. Dan Ayogi ngeyakinin kalau kita kuat makanya dia mau ngajak ke Pangrango. Oknum Mandalawangi ya Ayogi, dia yang promosi banget tentang Pangrango dan Madalawangi, apalagi ditambah ceritanya tentang Soe Hok Gie. Jadi, Mandalawangi itu adalah salah satu padang edelweis di Indonesia, tempatnya romantis, dan merupakan salah satu tempat favorit dari Soe Hok Gie ketika naik gunung. Ya mau ga mau tetep aja tergoda. Keputusannya: besok subuh berangkat ke Puncak Pangrango dan Mandalawangi!!! Sekarang waktunya tidur. Biar ga kesiangan.

Subuh jam 2 alarm bunyi, gandeng, tapi ga ada yang mau peduli. Jam 3 Rezy riweuh ngebangunin semuanya, karena ngantuk, semuanya ragu-ragu jadi apa engga, lagi-lagi Yogi yang paling gajelas hahaha. Dibangunin malah bilang, "Yu ah mending tidur lagi." -_____-
Masak, makan, berdoa, berangkat. Tadi malem Mamet ngajakin yang di sekitar buat ikut naik ke Puncak Pangrango, tapi ga ada yang mau, alhasil ya cuma bertujuh. Dalem hati sih deg-degan, kalau kemarin kan bareng si Geng Jakarta, tapi ya percaya aja deh sama si Ayogi dan Bismillah. 

Dari mulai jalan, saya mah pasti fokus liat ke bawah, ga akan mau tengok kanan kiri. Jalan menuju Pangrango beda sama ke Gede, di sini ga banyak batuan, didominasi sama tanah basah, akar, dan pohon-pohon gede yang tumbang di tengah jalan. Dari semalam saya sudah mengeluh sakit perut ingin buang air besar tapi rencananya mau ditahan aja sampe Cibodas. Tapi di tengah jalan saya udah ga kuat lagi dan semua nyuruh yaudalah jangan ditahan. Akhirnya, mau gamau saya harus buang air besar. Jadi gini, kalau mau buang air besar di gunung itu harus ngegali tanah dulu hahahaha. Maaf ya ini bukan jorok tapi berbagi pengalaman siapa tau kalian ngalamin hal yang sama. Dan dengan baik hatinya Yogi yang ngegaliin dan dengan nyebelinnya mereka malah ngeliatin apalagi Vani yang malah ngerekamin hahahaha, Astaghfirulloh.

Menuju puncak

Naik ke gunung ada rumusnya, seperti naik ke Pangrango kalau gamau nyasar. Rumusnya, ambil jalan yang ke kiri dan kalau nyasar turun lagi sampai nemuin tanah yang landai. Kirain matematika doang pake rumus. Kalau menurut saya sih jalannya enakan ke Pangrango, soalnya ga banyak batu, tapi banyak tanah. Kita bakal nemuin beberapa jalan yang di samping kanan kiri kita tanah tinggi cuma ada celah sedikit dan kita harus lewat di tengah-tengah tanah itu. Ngelewatin jalan yang pas pulangnya bisa dipake perosotan. Kali ini mamet ga F1, tumben. 

Kalau udah nemuin pohon-pohon cantigi pasti bilang "Ayo, udah deket. Ayo deket udah keliatan tuh puncaknya. Ayo paling sepuluh menit lagi." Padahal, kalian jangan percaya deketnya, sebentar laginya, atau sepuluh menitnya anak gunung. Deketnya itu satu kilo, sebentar atau sepuluh menitnya lagi itu mungkin satu jam, semua itu cuma menghibur hahahaha. Saya sedikit-sedikit liat jam, sedikit-sedikit liat jam, dannnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn sekitar jam 7 lebih akhirnya sampai juga di Puncak Pangrango, 3019mdpl.
YA ALLAH, ALHAMDULILLAH, GA PERCAYA, DOUBLE SUMMITTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT!!!!!!!
Saya yang bawa carrier aja udah mau jatoh, ga percaya bisa double summit Gede Pangrango. Alhamdulillah, makasih ya Allah. Puncak Pangrango ga sebagus Puncak Gede, di sini semuanya pohon, cuma ada celah yang ga terlalu besar pemandangan Gunung Gede. Kemarin saya dan yang lain ada di Puncak Gede di seberang sana dan sekarang ada di Puncak Pangrango. Pemula, ripuh, riweuh, tapi kebanggaan tersendiri bisa Double Summit. 



Di Puncak Pangrango ga banyak foto-foto karena komando dari Mamet dan Ayogi yang bilang,
"Foto-fotonya tar aja pas pulang mending sekarang ke Mandalawangi."
Istirahat sebentar langsung menuju Mandalawangi yang kata mamet jaraknya cuma semenit, maklum da si eta mah F1. Ga sabar rasanya dan seperti biasa karena jalannya turun dan sedikit landai saya dan Vani bat bet bat bet. Ayogi yang jalan di depan memberitahu bahwa sudah ada edelwais dan entah kenapa saya terharu, saya bilang ke Santi dan Vani saya terharu pengen nangis, lebay sih tapi mereka juga merasakan hal yang sama. 

"Pertigaan belok kanan!" Komando Mamet.
DANNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNNN.
SAMPAILAH KITA DI MANDALAWANGI. Padang Edelweis yang romantis. 
Sampai di sini saya, Vani, dan Santi seperti yang baru mendapatkan kado satu trilyun, pengen guling-gulingan, jingkrak-jingkrak, loncat-loncat, teriak-teriak. Alhamdulillah ya Allah, Mandalawangi memang indah. Di situ juga ada semacam tugu in memoriam anak-anak Tramp yang meninggal di sana. You may rest in peace. 


You must be in love with Mandalawangi

Hari itu cuma kita aja yang ada di Mandalawangi makin aja kaya milik sendiri. Walaupun tidak seluas Surken tapi ini juga ga kalah indahnya dan walaupun edelweisnya ga lagi mekar tetep aja bikin betah. Karena air habis dan sungai super kecil di Mandalawangi sedang kering maka Mamet dan Ayogi memutuskan untuk mencari air. Ketika Mamet dan Ayogi pergi kami semua sibuk sendiri ngelamun gatau ngelamunin apa yang pasti kita semua diem. Betah. Di sini kita bisa liat jelas awan yang bergerak rasanya tuh jaraknya deket banget sama kita. Tiba-tiba cerah ga ada awan, tiba-tiba awan lewat di atas kepala kita, tiba-tiba berkabut. AAAAAAAAAAAAA!!!! Di sini juga dingin banget tapi gatau kenapa saya gamau pake jaket hahaha jangan ditiru sih. Saya ga bisa jelasin pake kata-kata pecahnya Mandalawangi pokoknya selama kalian masih mampu dan sehat segera kunjungi Gede Pangrango dan mampir ke Mandalawangi. Di jamin kalian pasti betah.

Yogi sibuk ngomong sama bunga
Santy
Vani
Mamet Jumbun
 Resna
Yogi
Rezy
Man of Steel kita, AYOGI

Keluarga Tong Gandeng

Pangarango itu sepi, jarang juga yang mau sekalian naik Gede Pangrango biasanya Gede doang. Tapi Pangrango ga kalah indahnya. Rasanya mau masukin semua foto! Tapi kasian takut kalian pada ngiri hahaha, cengos. Di Mandalawangi kita sempet minum air yang rasanya kaya air bekas minum macan, makan mie, ngopi, lagi-lagi saya diprotes pas makan mie, cengos katanya. Lama perjalanan turun lebih cepet, di sini kurang bisa bat bet bat bet tapi bisa perosotan. Pulang ke Kandang Badak, lalu makan, beres-beres, dan langsung turun ke Cibodas. PULANG! Tandanya udah deket ke Kandang Badak adalah nemuin kayu-kayu besar malang di tengah jalan. Sekitar jam dua belas kurang udah ada banyak nemuin kayu-kayu itu berarti udah deket dan saya denger suara orang ketawa-ketawa kenceng sampai dua kali, yakin banget udah deket. Dan ternyata beberapa menit kemudian sampai di Kandang Badak, tapi ga ada yang ngecamp dan ga ada orang satupun, cuma tinggal tenda kita, terus yang tadi ketawa-ketawa itu siapa?


Kepengennya sih ngecamp di Surya Kencana (Surken, padang edelweis), Surken lewat Cibodas karena jalur Gunung Putri ditutup. Tapi boro-boro Surken, sampai di Kandang Badak aja udah Alhamdulillah. Sampai di Kandang Badak numpang di tenda anak Jakarta dulu sedetik karena gerimis mengundang, lalu Mamet dan para cowo bikin tenda, saya nonton aja deh, hahaha. Selesai bangun tenda, waktunya masak! Ahlinya masak memasak serahkan pada Santi, saya mah bantuin doa aja ya, San. Masakan pertama adalah sayur sop, tapi dimasakan pertama ini, nasinya masih gigih (belum mateng), tapi namanya juga di gunung tetep aja enak apalagi kalau lapar. Kalian ga perlu khawatir kalau naik ke Gunung Gede Pangrango, karena banyak sumber airnya. Di Kandang Badak pun kalian bisa bebas mengambil air untuk kebutuhan minum atau memasak. Air di sini dingin banget, kaya air dari kulkas, kalau dimasukin ke botol akua, botolnya pasti berembun, jangan khawatir juga air di sini ga ada rasanya sama seperti air tawar biasanya. Jangan lupa bawa saringan buat air supaya lebih bersih. Tapi ingat ya, air di sini dilarang digunakan untuk bersih-bersih diri seperti mandi menggunakan sabun dll karena airnya akan mengalir ke warga.

Kegiatan malam hari di gunung adalah makan, ngopi, ngeteh, dan ngobrol. Si geng Jakarta itu baik-baik banget, si Bang Roy selalu bikinin teh tubruk dan tehnya enak banget, kata dia itu teh TongJi. Rencananya kita juga bakal Summit Attack ke Puncak Gede bareng mereka. Selain makan ngopi ngeteh ngobrol ada kegiatan lain juga yaitu minta pijitin! Hahahaha. Alhamdulillah kita kali ini bawa seorang fisioterapis, Yogi Haryanto, selain suka ngelawak si Abah Yogi juga jago mijit, jadi sakit bahu karena bawa carrier, sakit kaki, sakit kepala, semua beres kalau ada Yogi. Di Gunung harus tidur cepet-cepet biar ga kesiangan dan harus dapet sunrise.

Jam 3 subuh bangun, masak, kali ini giliran si Mamet yang masak. Masak mie goreng dan nasi yang gampang. Makan adalah satu hal yang penting pas naik gunung, biar ada tenaga. Jam 4 kurang siap, berdoa bareng, Bismillah. Ditambah Geng Jakarta total yang naik ke Puncak Gede berjumlah sepuluh orang. Perjalanan menuju puncak masih seperti biasa, batu-batu. Karena masih gelap saya fokus pake headlamp nunduk ke bawah liat jalan, saya termasuk anak yang sieunan jadi ga berani liat kanan kiri. Semakin ke atas, pepohonan semakin memendek, jalan bukan batu-batuan lagi tapi berubah jadi akar, jangan injek akar, licin. Ciri-ciri semakin dekat ke puncak adalah mulai menemukan pohon cantigi. Sekitar jam 6 kita sudah sampai di Puncak tapi tunggu dulu puncak Gedenya masih lumayan jauh, saya pikir ini sudah puncak. Yaaa setidaknya dari sini sudah bisa melihat pemandangan Gunung Pangrango. Subhanallah.


Di sini aja udah keliatan awan empuk, tunggu ada yang lebih bagusss!


Menuju Puncak Gede yang benerannya, saya, Santi, Vani, dan Yogi sibuk foto-foto, liat awannya yang empuk, pemandangan Gunung Pangrango yang kata Ayogi adalah gunung paling romantis. Kalau yang lain karena ke Gunung Gede udah sering jadi ga terlalu riweuh foto-foto, fokus jalan menuju Puncak Gede, ya maklumlah, baru naik gunung. Jalan menuju Puncak Gede itu didominasi oleh pasir dan batuan, samping kiri kawah, samping kanan jurang, hati-hati. Tapi pemadanangannya ga bisa kebeli sama apapun.



 Gunung Pangrango

Penampakan Bang Dul

Setelah puas foto-foto, kami berempat adalah yang terakhir sampai di Puncak Gede. Alhamdulillah, Allahuakbar, Subhanallah. Percaya ga percaya bisa sampai di puncak, 2958mdpl. Rasanya seneng, terharu, dan mikirin mau nulis kata-kata apa hahaha. Di Puncak Gede kita tetep sibuk foto-foto, sibuk nulis tulisan buat difoto, yang riweuh ya semua yang belum pernah naik gunung, yang udah pada sering mah malah sibuk ngeteh. 


Berbagai ucapan dari Puncak Gunung Gede, 2958mdpl. 29-10-13.

Foto-fotonya masih banyak tapi kasian ah kalau pada liat nanti jadi pada mau. Hahahaha, cengos. Pas kita sampai di Puncak Gede cuacanya Alhamdulillah cerah, tapi lama kelamaan jadi berkabut dan makin dingin sampe kaya mati rasa, di hpnya Bang Dul sih katanya 14 derajat tapi kayanya lebih rendah dari itu, sotoy. Karena makin lama makin dingin dan berkabut jadi kita memutuskan untuk cepat turun. 


FULL TEAM

Perjalanan pulang menuju Kadang Badak lebih gampang, karena turun, bisa bat bet bat bet, pertama-tama sih takut kepeleset atau tisorodot tapi lama-lama seru juga aga lari-larian, kalau kata Vani kaya lagi main game dan kita harus cari jalan yang paling aman. Kali ini juga kita ngelewatin Tanjakan Setan, jadi kita harus nurunin Tanjakan Setan ini, emang setan banget, hampir 90 derajat, kita turun pake tali gitu dan harus hati-hati. Oknum Tanjakan Setan ini adalah Bang Roy, Bang Malik, dan Mamet. Saya kayanya yang paling riweuh paling ga bisa diem, mungkin kalau ga ada cowo-cowo saya udah pasti lama mikir sejam buat turun. Fotonya menyusul yaaaaaaaa. Perjalanan turun itu setengahnya dari perjalanan naik jadi lebih cepet, sampai di Kandang Badak Yogi kabita sama geng Jakarta yang mau pada pulang. Rebahan, lalu makan, rencananya kita bakal pulang besok pagi, tapi?

Nih Tanjakan Setannya.

Unuy Setrong

Riweuh euy

Eh Bu Haji, damang, De?

Awa awaaaaaaaaaaaa

Saking mau foto, yang udah di bawah harus naik lagi, sok pundung Yogi mah.

"Setengah jam pertama pas naik gunung adalah penyesalan." - Ayogi.

Itu rasanya bener banget, baru naik lima menit mulai perjalanan aja rasanya udah mau pulang lagi aja ah, ngapain dilanjutin. Tapi rasa nyesel itu kalah sama rasa penasaran mau sampe puncak.

10 hari sebelumnya, tiba-tiba vani nge-whatsapp, "Siap ga kalau naik gunung ke Gede tanggal 28 Oktober?"
Ini nih, kerjaan anak-anak, apapun ngedadak. Rencana awal yang berangkat, saya, Vani, Santi, Mamet, Rezy, Sasa, dan Yogi. Mulai urus-urus SIMAKSI, nyiapin perlengkapan, logistik, pinjem barang-barang yang ga ada. Jadi, kalau mau naik Gunung Gede Pangrango, kita harus urus-urus ijinnya dulu, minimal 1 minggu sebelum naik, bisa online, tapi mending langsung ke kantornya, di Cibodas. Biaya administrasinya 10ribu rupiah, murah kan, naik gunung mah murah. H-2, Sasa ga ikut, padahal yang paling gajelas tuh si Yogi. Akhirnya cuma berenam dan katanya Sasa bakal digantiin sama temennya Mamet. Sasasusu, kamu pasti ke sana nanti! :)

27 sore, menuju Gunung Gede. Meeting point di Terminal Leuwi Panjang, menjelang maghrib baru berangkat menuju Cibodas, sampai di Cibodas sekitar jam 9 malam. Makan dulu di tukang nasi padang naik haji, lalu packing ulang dan akhirnya temennya Mamet, Ayogi datang. Ternyata anak kampus juga. Lalu naik angkot ke arah Kebun Raya Cibodas, untuk menuju pos dan kami sudah sepakat untuk menginap di sana semalam, paginya baru memulai pendaikan. Gunung Gedeeeeeeeeeeee!
Sampai di pos, sudah disambut sama dua orang yang kesurupan, keduanya merasa ada yang memanggil ketika perjalanan pulang. Saya menyaksikan sendiri salah satu orang yang kesurupan karena posisinya tepat ada di depan tempat kami untuk tidur, saya sebenarnya pura-pura gamau tau dan gamau denger. Posisi perempuan itu sedang tidur, dan kami pun berusaha untuk tidur. Lalu tiba-tiba dia terbangun, lalu berteriak bahwa seseorang memanggilnya dan dia harus segera pergi ke sana.
Sampai Vani bangun lalu bertanya pada Santi, "San, ada yang bisa dibaca ga?" -______-
Belum lagi salah satu temannya sakit, yang digotong dari atas. Jujur, mental saya ngeliat kaya gitu mulai kacau, apalagi ini pengalaman pertama naik gunung, ditambah lagi saya lagi sakit gigi, kuat ga ya sampe puncak, bisa ga ya, nyasar ga ya, takut kenapa-kenapa. Tapi sebelum tidur, yaudalah, Bismillah.

28 pagi, bangun sih subuh, tapi siap-siap dulu, packing ulang, sarapan pagi di warung. Akhirnya berangkat dari Cibodas sekitar jam 6 pagi. Estimasi perjalanan menuju tempat camp, Kandang Badak, sekitar 7-8 jam. Berdoa, Bismillah, pasti bisa. Dengan bawaan carrier yang beratnya Subhanalloh, jalannya batu-batu dan nanjak, baru lima menit aja udah ngos-ngosan banget dan mikir mau balik lagi aja sendiri ga akan jadi naik gunung. Tapi diyakinin dalem hati, pasti bisa. Sedikit-sedikit minta berhenti, "Break!" 
Mamet mulai jalannya kaya F1 duluan di depan dan untungnya man of steel kita kali ini adalah Ayogi, senior yang udah naik 5kali ke Gunung Gede ini sabar banget nemenin kita jalan yang jalannya lelet kaya kura-kura, belum lagi ngeluh berat, dan ibaratnya 2detik sekali minta break, hahaha. Istirahat pertama paling lama di Telaga Biru. Telaganya, Subhanallah bagus banget, tenang, adem, nyaman, tapi kalian hati-hati ya kalau lewat sini malem-malem, peraturan paling penting kalo lewat sini, jangan nenggak ke atas dan jangan pernah berenang di telaganya. Nanti saya ceritakan terpisah. 
Bagus, kan?

Di Telaga ini ketemu sama anak-anak Jakarta yang mau naik juga, Bang Dul, Bang Roy, sama Bang Malik. Baru ketemu aja udah baik banget, ngebikinin teh. Akhirnya kita berangkat menuju Kandang Badak bareng sama mereka. Mamet sama Bang Roy di depan, geng F1. Sehabis Telaga Biru kita melewati Rawa Gayonggong, sayang jalannya udah kaya disemen gitu, padahal tahun lalu masih kayu-kayu, cita-cita saya mau foto di situ, hiks. Setelah rawa lalu ada pos, Panyancangan namanya, istirahat lagi. Nengok ke belakang, selamat datang jalan batu-batuan, kanan kiri hutan, dan akar-akaran. Perjalanan masih panjang.

















Rawa Gayonggong. Perjalanan Masih Jauh


Perjalanan sudah dekatttttt

Istirahat lama lagi di Cipanas dan ketemu si Mamet lagi, setelah geber kaya F1. Di sini terdapat aliran air panas gitu, jadi kalau cape kalian bisa nyemplung dulu ke air panas, ga gede sih bentuknya kaya solokan gitu, terus ada pos dan tempat istirahatnya juga. Lumayan. Sebelum ke tempat air panas itu, kita bakal ngelewatin jalan yang di sebelah kiri kita itu tebing yang dialiri air panas, lalu sebelah kanan kita itu jurang, dan di bawah kita itu batu-batuan yang dialiri air panas juga, nah, kalian kalau lewat sini hati-hati, awas kepeleset, watch your step!

Ngerendem kaki dulu

Setelah Cipanas kita bakal ngelewatin Kandang Batu, ga beberapa lama kita bakal sampai di Kandang Badak. Alhamdulillah. Sepanjang jalan kita di temenin sama Ayogi dan Bang Dul. Gatau lagi kalau ga ada mereka berdua, mungkin kita udah nyasar ke Gunung Salak, hahaha. Jadi sedikit bayangan, menuju Kandang Badak itu kita lewat jalan setapak, kanan kiri hutan, jalannya nanjak, dan yang paling gakuat buat kita adalah bawa carrier, percaya ga percaya, bahu perih banget. Bang Dul paling pengertian, kita ga bilang cape, tapi dia selalu ngeduluin "Kalo cape ngaso aja dulu, jangan dipaksa." Akhirnya di jalan banyak ngaso sama Bang Dul. Ini ke enam kalinya dia mau naik ke Gede. Sebelumnya Santi bilang, jangan ngecamp di Kandang Batu, dan Bang Roy juga bilang yang sama. Tapi, kita sempet solat berjamaah di Kandang Batu. Kandang Batu ini tempatnya kaya ga ada sinar matahari yang masuk, dingin. 


Suasana Kandang Batu, Dzuhur berjamaah

Setelah Kandang Batu jalannya landai dan sampailah kita di Kandang Badak jam dua siang, Allahuakbar, perjalanan delapan jam akhirnya sampe juga. Cukup rame yang ngecamp di situ, kita bikin tenda di samping Geng Jakarta. Kita bakal ngecamp di sini sampai subuh, sekitar jam 4 subuh baru menuju Puncak Gede. Summit Attack!

Setelah pulang dari Karjaw saya selalu merencanakan untuk menghindari rumah dan rasanya tuh pengen main terus sama temen-temen. Ya nginep lah, ya jajan lah, pulang malem, ngungsi ke kosan, nyampah. hahaha. Terakhir yang baru-baru ini adalah ke Bukit Moko, Caringin Tilu ke atas lagi, gara-gara liat si Jebraw dan Naya ke sana, jadi pengen juga. Rencananya ke Moko ini hari terakhir jadi Bang Toyib setelah satu bulan terakhir selalu menghindari rumah.

Seperti biasa, selalu ngedadak, salah satu tips jalan-jalan yang bakal sukses adalah, ngedadak! Sempet gatau jadi apa engga dan akhirnya jadi juga, tempat kumpul ga akan jauh dari kosan Rezy. Berangkat dini hari, dari kosan sekitar jam 3 subuh lebih, naik motor, karena jalan menuju Bukit Mokonya itu rusak. Bukit Moko, kalau bingung jalannya, masuk aja dari Padasuka lalu lurus aja ikutin jalan ke atas terus, baru setengah perjalanan udah keliatan view kota Bandung, penuh lampu, gausah jauh-jauh, Bandung aja udah cakep gini. Makin ke atas jalannya makin jelek, kalau yang mau ke sini pake mobil, mobilnya harus jag-jag, jangan pake mobil kecil, lebih enak sih pake motor, dan satu saran saya, kalau ke sini ramean ya, kalau ada apa-apa jadinya bisa saling bantu.  Beberapa meter menuju Bukit Moko jalannya jelek banget, yang dibonceng pake motor harus jalan kaki, pas kita turun dari motor ada Avanza dan Freed yang susah buat naik ke atas, nih susahnya pake mobil, dan yang nyetir tingkat setir menyetirnya harus udah level paling tinggi.

Makin susah dijangkau, makin bagus tempatnya. Bener kata si Jebraw, Bukit Moko "Pecah MENNNN!!"
Subhanallah, Subhanallah. Bandung banyak tempat bagus ga perlu jauh-jauh ke luar kota. Di sini viewnya Seluruh Kota Bandung, anak-anak sibuk ngeributin di mana rumah masing-masing, di mana Tangkuban Perahu, di mana letak kampus. Dari subuh sampe pagi pemandangannya bagus, kalau subuh masih keliatan banyak lampu mulai pagi mulai keliatan sinar matahari, kebun, awan yang cantik-cantik, dan ternyata di belakang kita itu adalah hutan pinus. Tapi buat yang galau jangan ke sini sendiri deh, nanti malah makin galau atau malah loncat ke jurang. 






Kakinya ibu-ibu rematik hahaha becanda cun


Puas foto-foto dengan latar belakang awan dan kebun-kebunan kita nyobain jalan ke hutan pinus, foto di sini lebih bagus lagi, backgroundnya kaya bukan asli saking bagusnya, kaya di kalender, hahaha. Jadiiiiii, buat yang bosen ke main ke mall aja atau bosen sama macetnya Bandung, ya apa salahnya cobain main-main ke Moko. Kalau ke sini jangan lupa pake sweater, kalau ga kuat dingin bawa sweater dua. Selamat jalan-jalan :)



Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

TWIDER!

Tweets by @resna

Blog Archive

  • ►  2019 (5)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (6)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2017 (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (4)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  Maret (3)
  • ►  2014 (20)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (4)
  • ▼  2013 (22)
    • ▼  Desember (1)
      • Mandalawangi - Pangrango
    • ►  November (5)
      • RunRunRun
      • PULANG! Jangan Pernah Kemaleman Di Jalan.
      • DOUBLE SUMMIT GEDE PANGRANGO #3
      • SUMMIT ATTACK GUNUNG GEDE #2
      • MENUJU PUNCAK GEDE! #1
    • ►  Juli (3)
      • RE(S)KOMEN: MOKO!
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2012 (12)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2011 (10)
    • ►  Desember (3)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Maret (1)
Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Post

Copyright © 2016 resnanadia. Created by OddThemes & Free Wordpress Themes 2018